Saya bukan bagian dari salah satu timses atau relawan salah satu paslon Cagub & Cawagub DKI Jakarta.
Saya juga tidak terafiliasi dengan Parpol manapun. Karena kepentingan saya dari beberapa tahun yang lalu sampai dengan 3 tahun kedepan atau lebih atau bahkan selamanya yang membuat saya tidak boleh terafiliasi dengan parpol manapun.
Saya memang salah satu pemilih Pak Jokowi ketika Pilpres 2014. Tetapi saya tidak setuju jika menjadi voter atau pendukung beliau, maka otomatis menjadi pemilih atau pendukung Pak Basuki Tjahaja Purnama (Alias ko Ahok). Tahun 2004 adalah pertama kali saya memenuhi syarat untuk mencoblos di bilik suara, saya memilih Pak SBY. Apakah otomatis saya mendukung anaknya? Nyatanya saya tidak. Saya kagum dengan karya-karya Ahmad Dhani di bidang musik & juga pemikirannya (entah sekarang masih atau tidak) yaitu Ideologi, Sikap, Otak. Tetapi apakah saya mendukung beliau di Pilkada Bekasi? Nyatanya saya tidak.
Sebelum ucapan Pak Basuki di Kep. Seribu dipermasalahkan, saya mendukung beliau untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta lagi pun bukan karena sebelumnya dukung Pak Jokowi di Pilpres, tetapi karena (lagi-lagi) melihat track record & membandingkannya dengan bakal calon lainnya baik yang sudah diresmikan maupun yang masih rumor. Ada diferensiasi.
Ada perubahan kearah yang jauh lebih baik & nyata di daerah DKI Jakarta. Dan sebagaimana diketahui juga bahwa di beberapa survei menyebutkan Kinerja Pemprov DKI Jakarta diatas 60 persen. Yang mendukung beliau untuk melanjutkan di periode selanjutnya juga diatas 60 persen (sebelum ucapan beliau di Kep. Seribu dipermasalahkan).
Setelah Ucapan Pak Basuki Di Kep. Seribu Dipermasalahkan
Sampai sekarang saya masih mendukung beliau sekalipun beliau dipermasalahkan perihal ucapannya di Kep. Seribu. Kenapa? Maaf, karena saya tidak merasa dan tidak berpikir beliau menistakan kitab suci agama saya. Ketika di Kep. Seribu beliau bermaksud menceritakan sedikit pengalaman pribadinya ketika mencalonkan menjadi kepala daerah & banyak orang yang kontra beliau menggunakan Al-Maidah 51 untuk disampaikan kepada warga yang pada intinya supaya tidak memilih Pak Basuki. Maaf kalau beda pendapat. Kalaupun Pak Basuki menistakan kitab suci agama saya berarti juga menghina agama saya. Tetapi mari kita lihat track record beliau ketika masih menjadi kepala daerah di kampung halamannya & ketika beliau menjadi kepala daerah di DKI Jakarta. Track record beliau untuk umat Muslim. Apakah tidak ada kebaikan beliau untuk umat Muslim khususnya di daerah yang pernah beliau pimpin dan juga DKI Jakarta?
Tetapi terserah kalau mau bilang saya Islam KTP, Islam KTA, Liberal, Syiah, munafik, kafir, dan seterusnya/semacamnya.
Equality Before Law
Saya sangat setuju sekali dengan sebutan yang pernah disampaikan oleh Pak SBY tersebut. Ada persamaan di depan hukum. Sekalipun ada yang berpandangan dipaksakan atau dikriminalisasi, tetapi patuh terhadap jalannya proses hukum di NKRI ini adalah suatu keharusan. Hukum harus ditegakkan. Jangan sampai hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Termasuk juga Pak Basuki. Pak Basuki sudah menjadi terdakwa, saya dan pendukung lainnya seharusnya menghormati jalannya proses hukum tersebut. Menghormati jalannya proses hukum yang berlaku adalah suatu hal yang harus dipatuhi di negeri yang berlandaskan Pancasila ini. Termasuk juga perihal putusan pengadilan kelak. Tentunya juga tak bisa dipungkiri bahwa ada hak-hak lain untuk menggugurkan status hukum yang telah disematkan, tetapi semoga tetap sesuai koridor hukum yang berlaku. Tentunya lagi-lagi benar kata pak SBY yaitu Equality before law!! Equality before law!! Equality before law!! Equality before law!! Jangan sampai hukum tajam ke bawah dan TUMPUL KE ATAS. Siapapun itu yang ada di atas, siapapun yang dilaporkan, siapapun yang diproses hukum.
Equality before law tersebut juga tercantum pada Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
Terkait Equality Before Law, sebelumnya pun terdapat di UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 3 ayat (2) dan pasal 5 ayat (1). Selain itu, terdapat pula di UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tersirat di dalam Pasal 10.
Pada tahun 1981 pun terdapat di bagian menimbang huruf a UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi:
bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
Jadi jelas bahwa pada huruf a bagian menimbang yang tercantum di dalam UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Dengan kata lain semua sama di mata hukum.
'Awliya' Dalam QS al-Maidah Ayat 51
Sesuai dengan terjemahan makna Al-Quran edisi revisi 2002 yang telah mendapat tanda tashih dari LPMQ), menurut berita yang tercantum di dalam situs resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI):
Kata awliya di dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya. Merujuk pada Terjemahan Al-Quran Kementerian Agama edisi revisi 1998 - 2002, pada QS. Ali Imran/3: 28, QS. Al-Nisa/4: 139 dan 144 serta QS. Al-Maidah/5: 57, misalnya, kata awliya diterjemahkan dengan pemimpin. Sedangkan pada QS. Al-Maidah/5: 51 dan QS. Al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan teman setia.
Jadi 'awliya' dalam QS al-Maidah ayat 51 menurut Kemenag RI diartikan dengan teman setia. Sejalan dengan Kemenag RI, Dr. H. Nadirsyah Hosen, L.L.M., M.A. (Hons), PhD. (Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand; Dosen Senior Fakultas Hukum, Monash University, Australia) berpendapat bahwa kata “awliya” dalam QS al-Maidah ayat 51 bukanlah diartikan sebagai “pemimpin”. Beliau berlandaskan tafsir-tafsir berikut ini:
- al-Baidhawi
- fi Zhilalil Qur'an
- Jalalain
- Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas
- al-Khazin
- al-Biqa'i
- Muqatil
- Sayyid Thantawi
- al-Durr al-Mansyur
- al-Khazin
- Ibn Katsir
Bahkan menurut beliau, dari segi kepemimpinan pada saat kekuasaan khalifah ‘Abbasiyah ke-16 al-Mu’tadhid (Abu’l-Abbas al-Mu’tadid bi-llah Ahmad ibn Talha al-Muwaffaq) (892-902M), terdapat seorang Kristen taat bernama ‘Umar bin Yusuf, diangkat sebagai gubernur Provinsi al-Anbar, Irak. Pada masa khalifah ‘Abbasiyah ke-15 al-Mu’tamid(Abul-Abbas Ahmad al-Mu’tamid) (870-982), ketika komando dipercayakan kepada seorang opsir militer Kristen bernama Israel. Pada masa khalifah ‘Abbasiyah ke-18 al-Muqtadir (Ja’far al-Muqtadir Billah ibn al-Mu’tadid ibn Ahmad ibn al-Mutawakkil) (908-932), ketika seorang Kristen juga ditugaskan mempertahankan Kekhalifahan.
Beliau pun membahas tentang 'illat' larangan berteman atau bersekutu dengan non-muslim, juga memilih pemimpin dari kalangan non-muslim. Beliau menjelaskan dalam situs web pribadinya:
Apa illat larangan mengambil yahudi dan nasrani sebagai awliya? Berkhianat kepada umat (ingat asbabun nuzul ayat dan penafsiran para ulama soal ini yang sudah pernah saya tulis panjang lebar sebelumnya). Jadi, berteman atau bersekutu dengan non-muslim boleh selama tidak berkhianat kepada umat, APALAGI menjadikannya sebagai pemimpin (asalkan tidak berkhianat kepada umat), tentu juga dibolehkan.
Jadi jelas pula bahwa tidak masalah berteman dengan non-muslim ataupun menjadikan non-muslim sebagai pemimpin, asalkan tidak berkhianat kepada umat Islam itu sendiri. Anda pun bisa mengetahui tentang 'illat' tersebut di situs web pribadinya yang ada di daftar sumber pada tulisan saya ini. Kemudian menurut Habib Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, MA (cendekiawan Muslim dalam ilmu-ilmu Al Qur’an dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998)) dalam Skripsi Ismiyati Nur 'Azizah yang berjudul POLISEMI KATA WALI DALAM AL-QUR'AN: STUDI KASUS TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB (2011:89), pada surat al-Maidah ayat 51 yang dimaksud dengan 'auliya' atau 'awliya' adalah teman-teman dekat. Menurut beliau 'auliya' atau 'awliya' yang dimaksud dalam ayat tersebut ialah cinta kasih yang mengantar kepada meleburnya perbedaan-perbedaan dalam satu wadah, menyatunya jiwa yang tadinya berselisih, saling terkaitannya akhlak dan miripnya tingkah laku sehingga anda dapat meliht dua orang yang saling mencintai bahkan seorang yang memiliki satu jiwa, satu kehendak, dan satu perbuatan, yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain dalam perjalanan hidup dan tingkat pergaulan. Penulis skripsi tersebut berpandangan bahwa Habib Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, MA lebih memperhatikan konteksnya dalam menerjemahkan hal tersebut.
Saya menambahkan sebutan “Habib” sebelum gelar Profesor beliau karena itu adalah salah satu bentuk hormat saya ke beliau yang memang nyatanya adalah seorang habib, meskipun beliau jelas tidak ingin dipanggil habib.
Tetapi Habib Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, MA Kan Syiah, Dik?
Menurut Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U., beliau adalah Sunni sejati. Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. dalam cuitannya di Twitter yang saya kutip dari website icmi.or.id mengatakan: "Pak Quraish Shihab itu Sunny sejati. Ilmunya memang luas shg bs menjelaskan Syiah maupun Khawarij dgn jernih,". Menurut Dr. H. Nadirsyah Hosen, L.L.M., M.A. (Hons), PhD.: “Para guru besar itu memang membaca dan mengoleksi literatur dalam berbagai mazhab. Kalau gak gitu, ya bukan guru besar dong”. Lebih lanjut, Dr. H. Nadirsyah Hosen, L.L.M., M.A. (Hons), PhD. menjelaskan dalam laman Facebooknya:
Keliru besar kalau dikatakan Tafsir al-Misbah hanya merujuk pada Tafsir al-Mizan. Kalau kita baca dengan seksama, Habib Prof Quraish itu sangat mengagumi al-Biqa'i yang menulis kitab tafsir Nazm al-Durar. Karya al-Biqa'i ini menjadi bahan kajian disertasi Habib Prof Quraish Shihab di al-Azhar Cairo. Selain al-Biqa'i dan Thabathaba'i, beliau juga merujuk kepada Tafsir fi Zhilalil Qur'an karya Sayid Quthb dan al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn Asyur. Jadi, paling tidak ada 4 kitab tafsir utama yang dirujuk oleh Tafsir al-Misbahnya Habib Prof Quraish Shihab: Thabathaba'i yang beraliran Syi'ah Imamiyah, al-Biqa'i yang bermazhab Syafi'i, Sayid Quthb ulama konservatif dari Ikhwanul Muslimin, dan Ibn Asyur ulama progresif bermazhab Maliki. Selain keempat kitab tafsir utama di atas, Habib Prof Quraish Shihab juga merujuk kepada kitab tafsir lainnya semisal Tafsir al-Wasith karya Sayid Thantawi (mantan Grand Syekh al-Azhar) dan juga kitab tafsir klasik semisal Tafsir al-Qurtubi. Dengan kata lain, Tafsir al-Misbah tidak hanya merujuk kepada tafsir syi'ah karya Thabathaba'i tapi juga kitab tafsir lainnya termasuk tafsir konservatif milik Sayid Quthb. Tentu menakjubkan karya tokoh syi'ah-sunni, progresif dan konservatif, klasik-modern semuanya diakomodir dalam Tafsir al-Misbah. Ini menunjukkan pendekatan beliau yang luas dan luwes.
Menurut Dr. H. Nadirsyah Hosen, L.L.M., M.A. (Hons), PhD., beliau memang pernah mengutip pemahaman salah satu tokoh Syiah, tetapi beliau juga banyak mengutip pemahaman tokoh-tokoh Sunni. Dan hal yang wajar jika itu terjadi. Itulah apa yang diyakini oleh sang Habib tersebut sebagai kebenaran. Dr. H. Nadirsyah Hosen, L.L.M., M.A. (Hons), PhD. mengatakan dalam laman Facebooknya:
Meskipun beliau mengutip Tafsir al-Mizan karya ulama Syi'ah, namun dalam beberapa pembahasan Habib Prof Quraish Shihab terang-terangan menunjukkan perbedaan pandangan beliau dengan Thabathaba'i. Ini sikap ilmiah beliau. Misalnya yang paling jelas dalam Surat 'Abasa. Sejak lama ulama Sunni berbeda pandangan dengan ulama Syi'ah mengenai apakah Nabi Muhammad yang mendapat teguran Allah dalam surat tersebut atau orang lain. Setelah menguraikan pandangan Thabathaba'i, beliau menulis: "Hanya saja, alasan-alasan yang dikemukakannya tidak sepenuhnya tepat". Dengan kata lain, Habib Prof Quraish Shihab berpandangan sama dengan ulama Sunni dalam surat 'Abasa ini. Ini bukti yang teramat jelas bahwa beliau bukan seorang Syi'ah.
Perbedaan pandangan lainnya bisa terlihat saat membahas surat al-Hujurat ayat 12. Thabathaba'i menganggap larangan ghibah di ayat ini hanya berlaku jika yang digunjing itu seorang muslim sebagaimana diisyaratkan oleh kata "akh/saudara" dalam ayat ini. Dengan merujuk pada QS al-Taubah : 9 yang menegaskan persaudaran seagama itu menggunakan redaksi "ikhwanukum fid din" Habib Prof Quraish Shihab tidak menyetujui pendapat Thabathaba'i di atas. Dengan demikian beliau berpendapat kata "akh/saudara" dalam al-Hujurat:12 tidak hanya berlaku untuk sesama Muslim. Ini contoh bagaimana Tafsir al-Misbah berbeda pandangan dengan Tafsir al-Mizan. Dalam dunia ilmiah, hal ini wajar saja.
Menurut hasil wawancara Tirto.id dengan beliau pernah menyarankan kepada pihak salah satu stasiun tv swasta di Indonesia untuk tidak menerima seorang syiah yang hendak memberikan tabligh di stasiun tv tersebut. Beliau khawatir orang tersebut akan menyebarkan ajaran syiah secara keseluruhan.
Bahkan beliau sangat berharap ada yang mengkritisi apa yang telah beliau tafsirkan, karena bisa jadi sudah tak relevan. Bahkan beliau itu Habib tetapi tidak mau dipanggil Habib. Sungguh rendah hati. Sungguh keren.
Kembali ke kata 'awliya', selanjutnya saya persembahkan pendapat dari Dr. Sumanto Al Qurtuby, MSi, MA, PhD (Seorang Dosen Antropologi di King Fahd University of Petroleum and Minerals), beliau menggali data dan informasi dengan bertanya kepada orang dan bukan pada buku/kamus. Menurut para teman dan muridnya, kata 'awliya' ini berasal dari Bahasa Arab klasik (fushah). Berikut adalah arti 'awliya' tersebut:
Pertama, ayah, ibu, paman atau siapa saja yang menjaga, mengasuh, melindungi, dan mengurus anak. Atau jika anak itu tidak punya ayah-ibu (yatim-piatu) sehingga diurus oleh negara atau pemerintah, maka pemerintah itulah sebagai “auliya” (legal guardian) karena telah mengurus anak tadi. Orang Saudi kalau melihat ada anak kecil sendirian di jalan tanpa orang dewasa, maka mereka akan tanya: “Aina wali amrik” (“Mana walimu”?).
Kedua, kata “auliya” juga berarti “wali murid”. Dalam surat-surat formal dari sekolahan misalnya tertulis: “Ila auliya al-umur” (“Kepada para wali murid”).
Ketiga, orang-orang saleh dan alim yang dekat dengan Allah. Di Indonesia misalnya ya Walisongo atau siapa saja yang dianggap saleh dan alim oleh kaum Muslim.
Keempat, teman atau sekutu.
Jadi 'awliya' sebagaimana yang dijelaskan diatas diartikan dengan wali atau bisa juga dikatakan yang menjaga anak. Selain itu dapat pula diartikan dengan wali murid, orang-orang saleh dan alim yang dekat dengan Allah SWT, dan juga teman atau sekutu. Terdapat beragam arti.
Hal yang khusus yaitu tentang pemimpin, Dr. Sumanto Al Qurtuby, MSi, MA, PhD menyampaikan pada laman Facebooknya:
Saya pun bertanya lagi: “Kalau untuk pemimpin pemerintahan seperti presiden, gubernur, walikota, dlsb, kata apa yang digunakan?” Mereka serentak menjawab: “wulah” (jamak dari “waa-lii” kalau “auliya” jamak dari “wa-lii”). Contoh dari kata “wulah” ini adalah sultan (seperti di Oman), raja atau malik (seperti di Saudi), amir (seperti di Qatar), hakim, gubernur, walikota atau umdah, dsb.
Pemimpin pemerintahan disebut sebagai 'wulah' atau bentuk jamak dari 'waa-lii'. Sementara itu 'auliya' atau 'awliya' adalah jamak dari 'wa-lii'.
Dalam kaitannya dengan pemimpin, Rais Syuriah Pengurus Besar NU, K.H. Ahmad Ishomuddin, M.Ag. berpendapat sebagaimana dikutip oleh kompas.com: “Kriteria itu bisa didapat dari seorang pemimpin Muslim maupun non-Muslim, karena keduanya sama-sama punya hak untuk memimpin”.
Pak Basuki Menistakan Kitab Suci Agama Saya?
Menurut Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif atau yang biasa disapa Buya Syafii (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah;Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP);pendiri Maarif Institute) sebagaimana dikutip oleh tribunnews.com, mengatakan "Yang dikritik Ahok adalah mereka yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih dirinya”.
Saya pun sependapat dengan KH Ahmad Ishomuddin, M.Ag. yang mengatakan, "Karena secara logika, enggak mungkin orang yang sedang mencalonkan kemudian melecehkan. Jadi tidak masuk akal kalau itu berniat melecehkan”. Saya pun setuju dengan pendapat dari H. Muhammad Taufik Damas (Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta). Sebagaimana dikutip oleh kompas.com, ia mengatakan "Khususnya menyangkut larangan memilih pemimpin non-Muslim. Jadi, titik tekannya adalah kalimat 'membohongi pakai ayat', bukan ayatnya yang membohongi".
Selain itu, alasan saya ialah karena jelas 'awliya' dalam ayat yang dimaksud yang telah dijelaskan oleh pihak-pihak diatas tadi bukanlah diartikan sebagai pemimpin. Lalu mengapa pak Basuki mengatakan sebagaimana yang ia sampaikan pada saat di Kep. Seribu? Menurut saya, pak Basuki hanya menjelaskan jangan takut program yang ingin beliau jalankan di daerah tersebut akan tersendat sekalipun warga di daerah tersebut tidak akan memilih beliau sebagai Gubernur pada saat Pilkada 2017. Terjemahan bahkan yang resmi versi Depag revisi tahun 2002 pun bukan diartikan pemimpin. Jadi saya menganggap beliau hanya memberitahu hati-hati ada yang membawa-bawa ayat tersebut dalam politik tetapi dengan terjemahan yang bukan versi Depag revisi tahun 2002. Kemudian lihat apa yang sudah pak Basuki lakukan untuk umat Muslim. Apakah ada kemungkinan beliau tidak melakukan kebaikan-kebaikan untuk umat Muslim baik dari segi kebijakan maupun kebijaksanaan? Dan apakah sebelumnya tidak ada yang kontra dengan beliau dengan amat keras dan gamblang? Kalau ada yang kontra dengan beliau dengan amat keras dan gamblang, maka apakah semuanya masih sama seperti itu sampai sekarang?
Ada Fatwa yang Telah Dikeluarkan. Apakah Fatwa Itu Mengikat? Bagaimana kedudukannya dalam Peraturan Perundang-Undangan?
Habib Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, MA dalam situs web tirto.id mengatakan:
Pada prinsipnya fatwa itu tidak mengikat. Sekarang begini, saya mau cerita lagi. Kiai Haji Ibrahim Husain. Salah seorang ketua Majelis Ulama yang semasa sama saya, semasa dengan Pak Kiai Hasan Basri. Datang seseorang bertanya pada dia.
"Pak Kiai, saya menceraikan istri saya. Saya berkata, talak tiga. Apakah jatuh talak saya tiga?”
Pak Ibrahim Husain bertanya, “Kamu masih cinta tidak?”
“Saya masih cinta Pak Kiai.”
“Tidak jatuh. Boleh kembali.”
Lalu Pak Ibrahim cerita pada saya. Cerita pada kami. Lho kenapa kasih fatwa begitu? Pendapat ulama Ahlusunnah, kan, bahwa yang berkata jatuh talak tiga, ya jatuhnya tiga. Dia bilang begini:
“Kalau dia tidak senang dengan fatwa saya, dia akan pergi cari ulama lain sampai dia dapat yang membolehkan [kembali rujuk]. Karena fatwa itu tidak mengikat. Tidak mengikat yang bertanya kecuali kalau dia puas. Dia akan cari orang lain sampai dia dapat pendapat yang membolehkan itu."
Jadi, fatwa itu tak mengikat, semua ulama yang belajar tahu itu.
Beliau juga menyampaikan bahwa sebaiknya dalam konteks sekarang ini bagaimana Majelis Ulama menyampaikan fatwa-fatwa tetapi tidak mengakibatkan perpecahan umat, atau kehancuran bangsa ini. Sedangkan apabila bisa mengakibatkan mudharat yang lebih besar, maka harus ditunda. Fatwa yang merawat persatuan adalah prioritas.
Menurut Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (Tokoh Intelektual Islam) dalam e-journal milik Kopertais Wilayah IV, memaparkan:
Jika diamati dan dianalisa maka penulis berpendapat bahwa kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia sebenarnya adalah berada dalam elemen infra struktur ketatanegaraan, sebab MUI adalah organisasi Alim Ulama Umat Islam yang mempunyai tugas dan fungsi untuk pemberdayaan masyarakat/umat Islam, artinya MUI adalah organisasi yang ada dalam masyarakat, dan bukan merupakan institusi milik negara atau merepresentasikan negara. Artinya pula, fatwa MUI bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat, fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara. Sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang ada dalam infra struktur ketatanegaraan, Fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh komunitas umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap MUI itu sendiri. Legalitas fatwa MUI pun tidak bisa dan mampu memaksa harus ditaati oleh seluruh umat Islam. Fatwa sendiri pada hakikatnya tak lebih dari sebuah pendapat dan pemikiran belaka, dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali.
Kemudian saya juga memuat pernyataan dari Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. sebagaimana dikutip oleh detik.com:
Apa yang dikatakan hukum positif itu, hukum yang sedang berlaku, yang diberlakukan secara resmi oleh lembaga hukum negara. Nah MUI kan tidak pernah diberlakukan sebagai lembaga negara. Fatwa itu baik karena untuk membimbing umat. Tapi apa harus diikuti? Tentu tidak.
Saya Bertanya .... Saya Berterima Kasih .... Saya Berharap ....
Sorry kalau pendapat saya berbeda dengan anda. Tetapi saya ingin bertanya kepada siapapun yang membaca tulisan ini dan ada keinginan untuk memberikan jawaban terkait pertanyaan saya. Pertanyaan saya yakni sebagai berikut:
- Daerah mana saja di negeri tercinta ini yang seramai DKI Jakarta dalam hal menyuarakan pemimpin muslim atau pemimpin dari kalangan Islam? Apakah semua daerah atau paling tidak yang daerahnya mayoritas Muslim?
- Apakah semua parpol Islam mendukung calon kepala daerah beserta calon wakilnya yang beragama Islam? Berikut beserta contohnya.
Saya pun berharap kepada Pak Basuki untuk berhati-hati dalam hal apapun yang tentu tujuannya baik, kapanpun itu. Saya berharap Pak Basuki bisa sangat memahami kondisi khususnya kondisi perpolitikan kapanpun itu. Saya juga sangat berharap Pak Basuki bisa sangat memahami segi budaya negeri ini kapanpun itu.
Tentang Saya
LA Setyabudi
Manusia kelahiran kota kecil di Kalimantan Tengah, keturunan Jawa Tengah, anak tengah (anak ke-2 dari 3 bersaudara) dan suka di tengah (karena kalau dipinggir takutnya nyebur).
Telah mendapatkan gelar Islam Garis Keras, Islam KTP, munafik & mungkin akan ada gelar lain yang disematkan. "Sungguh barokah".
Tetapi kalau diijinkan, saya ingin sekali ikut serta membangun negeri tercinta ini, INDONESIA.
Sumber
http://www.nu.or.id/post/read/71937/meluruskan-sejumlah-tafsir-surat-al-maidah-51
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/awliya/isi.html
https://tirto.id/fatwa-itu-tak-mengikat-semua-ulama-yang-belajar-tahu-itu-chCc
http://lampung.tribunnews.com/2016/11/07/ini-komentar-syafii-maarif-terkait-kasus-ahok
https://news.detik.com/berita/d-3397842/mahfud-md-apakah-fatwa-mui-harus-diikuti-tentu-tidak
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161111080902-20-171907/gus-mus-sebut-kasus-ahok-digoreng-dengan-catut-agama/
http://icmi.or.id/blog/2015/06/mahfud-md-quraish-shihab-itu-sunni-tulen
http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/lisan/article/download/1245/875
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1624/1/101699-ISMIYATI%20NUR%20'AZIZAH-FAH.pdf
http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/254-logika-dan-illat-hukum
http://www.fiqhmenjawab.net/2016/10/kata-auliya-menurut-warga-saudi/
http://www.fiqhmenjawab.net/2016/03/2868/
http://www.fiqhmenjawab.net/2016/10/tafsir-al-maidah-ayat-51-menurut-prof-quraish-shihab/
https://chirpstory.com/li/333681
https://web.facebook.com/NadirsyahHosen/posts/1828590400722571
https://web.facebook.com/Bungmanto/posts/10157668866405523?_rdr
https://indonesiana.tempo.co/read/107749/2017/02/06/ilhamre/al-maidah-51-mui-vs-buya-syafii-maarif
Kompas.com (“lah kompas dik? Mereka mah musuh Islam dik. Mereka mah nyudutin Islam dik”. Jawaban saya: Kompas adalah salah satu media yang saya ikuti. Menurut saya, mereka bukanlah musuh Islam. Tetapi kalau ada berita-berita yang sesuai dengan yang saya suka itu memang benar ada, begitupun sebaliknya yaitu berita-berita yang tidak sesuai dengan yang saya suka memang benar ada juga. Kedepannya saya akan membuat tulisan terkait ini termasuk media resmi lainnya dan media-media tidak resmi dengan followers yang amat banyak). Berikut ini adalah link kompas.com yang menjadi sumber tulisan saya ini:
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/08/07473141/pengurus.nu.jakarta.ahok.tak.bilang.ayat.yang.membohongi.tetapi.membohongi.pakai.ayat
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/10/07394221/pbnu.muslim.dan.non-muslim.berhak.jadi.pemimpin